Jika Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) Berbeda dengan Wukuf di Arafah?
Assalamu’alaikum. Saya mau bertanya, pada bulan Dzulhijah sering terjadi perbedaan dalam puasa Arafah. Apakah puasa Arafah itu berdasarkan tanggal 9 atau berdasarkan wukuf haji di Arafah. Tolong Ustadz jelaskan mana yang benar mengingat betapa besar keutamaan puasa Arafah itu. Atas jawabannya saya ucapkan, “Jazakallah khairan.” (Abu Kholid, Boyolali)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah untuk Rasulullah ﷺ, para sahabat, dan pengikut setia beliau sampai akhir zaman.
Sebagian kaum muslimin memahami bahwa pelaksanaan puasa Arafah mesti bersamaan dengan wukufnya jamaah haji di Arafah. Pemahaman ini benar dan berlaku bagi kaum muslimin yang berada di Makkah dan sekitarnya yang tidak melaksanakan ibadah haji. Yang demikian itu karena wukuf di Arafah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut rukyah hilal yang dilakukan oleh penduduk Makkah.
Sedangkan untuk kaum muslimin yang berada di daerah yang jauh dari Makkah, maka pendapat yang lebih kuat adalah melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut rukyah hilal yang mereka lakukan di negeri masing-masing. Dasar pijakan kesimpulan ini adalah sebagai berikut:
Sejarah pensyariatan (tarikh tasyri’) puasa Arafah dan shalat Idul Adha.
Puasa Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wukuf di Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.
Maknanya, pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan kelima setelah hijrah, Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah melaksanakan puasa Arafah tanpa ada seorang pun melaksanakan wukuf di Arafah. Saat disyariatkan, puasa Arafah tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah. (Lihat: Zaadul Ma’ad, II/101, Fathul Bari, III/442; Hasyiyah Al-Jumal, VI/203; dan Subulus Salam, I/60)
Tiga Nama Puasa Arafah.
Puasa Arafah disebut dalam hadits dengan beberapa nama, yaitu:
- Puasa Tis’a Dzuhijjah.
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ , وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Salah seorang istri Nabi ﷺ menyampaikan, “Rasulullah ﷺ biasa melaksanakan puasa pada hari kesembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap bulan (tanggal 13, 14, dan l5 bulan hijriah).” (Sunan Abu Dawud, VI/418; Musnad Ahmad, hadits no. 21302 dan 25263; dan As-Sunan Al-Kubra lil Bayhaqi, IV/285)
2. Puasa Al-’Asyru
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
“Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullahﷺ; puasa ‘Asyura, puasa al-asyru (sepuluh hari awal Dzulhijjah), puasa tiga hari setiap bulan dan shalat dua rakaat sebelum shalat Subuh.” (Musnad Ahmad, hadits no. 26521 dan Sunan An-Nasa’i, II/238)
3. Puasa Arafah
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه سُئِلَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ. فَقَالَ: يُكَفِّرُ اَلسَّنَةَ اَلْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Abu Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya tentang puasa Arafah. Beliau menjawab, “Puasa Arafah menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Berdasarkan ketiga penamaan ini dapat dipahami bahwa puasa Arafah adalah puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah. Sebab jika puasa Arafah dikaitkan dengan peristiwa wukuf di Arafah, tentunya puasa pada hari itu tidak disebut dengan nama lain.
Fatwa Para Ulama
- Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya orang-orang melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah menurut kaum muslimin, meskipun sebenarnya itu adalah tanggal sepuluh Dzulhijjah.” (Majmu’ Fatawa, XXV/202)
- Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Puasa pada hari yang diragukan, apakah itu tanggal sembilan ataukah sepuluh Dzulhijjah, tanpa diperselisihkan oleh para ulama adalah sah.” (Majmu’ Fatawa, XXV/203)
- Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya tentang puasa Arafah, apakah dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal, ataukah rukyah di tanah haram, beliau menjawab —yang ringkasnya—hendaklah puasa dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal. (Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin, XX/47-48 dan XIX/41)
Pendapat ini diperkuat dengan realita belum majunya teknologi komunikasi dan transportasi pada masa Salaf. Pada masa mereka, perjalanan sehari hanya dapat menempuh jarak 40-50 km. Apabila rukyah penduduk Makkah dikabarkan ke Madinah, maka kabar itu baru sampai pada tanggal 12 atau paling cepat 10 Dzulhijjah, karena jarak Makkah-Madinah adalah 498 km.
Maknanya, dapat dipastikan bahwa Rasulullah ﷺ pun melaksanakan puasa Arafah berdasarkan rukyah hilal penduduk Madinah, bukan rukyah hilal penduduk Makkah. Wallahu a’lam.
[Rubrik ini diampuh oleh: Ust. Imtihan Asy-Syafii]