17 Agustus Tiba, Apakah Kita Benar Telah Merdeka?
Renungan setiap tahun menjelang upacara kemerdekaan tiba

Andalus.or.id – 17 Agustus adalah hari bersejarah bagi republik Indonesia, dimana pada tanggal tersebut proklamasi dilakukan sebagai tanda bahwa negara kita telah merdeka dari jeratan Belanda yang saat itu menjajah. Untuk itulah, tanggal 17 Agustus menjadi hari sakral yang mana setiap tahunnya kita merayakan momen tersebut untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan yang ada.
Namun, bila direnungkan dengan seksama, kemerdekaan bangsa Indonesia saat ini masih semu. Sebab, faktanya penjajahan itu masih terasa di negara kita. Memang penjajahannya bukan lagi dengan senjata, tapi penjajahan era modern hari ini adalah bagaimana kekuasaan berlaku tidak adil dan semena-mena terhadap rakyatnya.
Bagaimana kita melihat hukum dibuat mainan oleh penguasa, mereka mengotak atik hukum untuk melindungi kepentingannya, mereka jadikan hukum untuk memukul lawan politiknya dan membuat semakin sengsara rakyat yang ada dibawah.
Belum lagi berbicara soal ketimpangan. Ketimpangan yang terjadi hari ini sungguh amat terasa. Bagaimana kita menyaksikan rakyat dipersulit hidupnya dengan harga-harga kebutuhan yang melejit nominalnya, belum lagi banyaknya varian baru pajak yang membani rakyat yang sulit perokonomiannya atas dalih demi kemajuan ekonomi bangsa.
Untuk itu, jika kita merenungi apakah hari ini kita sudah merdeka? maka jawabannya BELUM. Negara ini masih jauh dari kata merdeka yang sesungguhnya, karena kekuasaan masih membuat rakyatnya hidup dalam ketidakadilan dan penuh dengan kedzaliman. Rakyat dipaksa menjadi budak penguasa jika ingin hidupnya mudah, namun sebaliknya mereka yang tidak mendukung kebijakan dzalim dan ketidakadilan penguasa, mereka akan dipersulit hidupnya.

Jika kita flashback pada tahun 1945, sejatinya negeri ini telah dirumuskan dengan begitu baik dasar-dasar negara oleh para ulama dan founding father bangsa kita. Tapi sayang, dasar negara yang telah dirumuskan masih jauh untuk bisa diterapkan, bagaimana kita lihat para elit negara yang menjadi pemimpin, mereka melakukan tukar tambah demi mencari keuntungan politik semata, mereka yang terpilih bukanlah orang yang kompeten dibidangnya, melainkan mereka terpilih karena sebuah hadiah atas dasar karena mendukung kekuasaan yang berbuat dzalim kepada rakyatnya.
Untuk itu, Islam datang untuk menghapus segala macam kedzaliman dan penghambaan sesama manusia, baik internal bangsa maupun antar bangsa.
Merdeka dari Belitan Hamba
Kemerdekaan hakiki adalah ketika setiap individu manusia merdeka dari orang lain, tak ada yang terkebiri haknya dan terpasung kehendaknya oleh kekuatan atau kekuasaan orang lain. Dia hanya terikat oleh hubungan timbal balik dalam sebuah transaksi sejajar antar manusia, bukan hubungan yang tak berimbang oleh sebab keterpaksaan yang sunyi.
Ketika ada orang yang menikmati kemerdekaan berlebihan, pasti ada orang lain yang terpasung kemerdekaannya sebagai akibat tidak meratanya kemerdekaan pada setiap orang. Kemerdekaan antar manusia itu ibarat aliran air bercabang, jika lebih banyak mengalir ke satu arah pasti terkurangi pada arah lain.
Ketika ada yang membunuh orang lain, namun hukumannya bukan balas bunuh, tapi hanya penjara 10 tahun, maka si pembunuh mendapatkan kemerdekaan overdosis karena ia masih bisa hidup meski telah menghentikan kehidupan orang lain, sementara korban terkebiri kemerdekaannya karena kematian yang tak berbalas. Karenanya hukum ciptaan manusia niscaya merampas kemerdekaan; satu pihak menjajah kemerdekaan orang lain, dan itu dianggap legal konstitusional berdasarkan hukum buatan manusia tersebut.
Berbeda dengan hukum Islam. Siapa yang membunuh, ia harus dibalas bunuh oleh pengadilan. Ia merampas kehidupan orang lain, maka kehidupan dirinya harus pula dirampas. Impas. Sepadan. (Lihat hukum qishas pada QS. 2 : 178). Masing-masing mendapat porsi kemerdekaan yang sama. Maka, hukum penjara untuk pembunuh adalah penjajahan dan penghambaan antar manusia, dan hukum qishas adalah kemerdekaan.
Pemahaman seperti ini yang membuat seorang tokoh bernama al-Mutsanna bin Haritsah as-Syaibani memberikan penilaian cerdas terhadap dakwah yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Kisah ini terjadi saat al-Mutsanna masih jahiliyah diutus oleh sukunya ke Madinah untuk menyerap informasi tentang agama baru yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam, dalam rangka menyampaikan kembali kepada kaumnya. Setelah ia dan rombongan mendengarkan presentasi dakwah Nabi shallallahu alaihi wassalam, saat itu juga ia memberi penilain jeli di hadapan Nabi shallallahu alaihi wassalam:
“Menurutku, kandungan dakwah yang engkau sampaikan kepada kami ini adalah sesuatu yang dibenci para raja”.
Kalimat ini lahir dari pemahaman yang dalam terhadap perilaku para penguasa terhadap rakyatnya. Dakwah tauhid mengajak semua manusia berdiri sejajar di hadapan Allah laksana prajurit yang siap menerima titah apapun dari komandan. Sesama manusia hubungannya hanya saling mengisi dan berbagi peran dalam rangka mencapai misi bersama secara organisatoris, bukan saling merenggut kemerdekaan.
Memang ada yang menjabat ketua, sekretaris dan seterusnya, tapi itu hanya seperti jamaah shalat. Imam tak bisa keluar dari aturan baku gerakan shalat. Jika ia melakukannya, justru ia yang akan diganti dengan imam lain. Imam shalat tidak merampas kemerdekaan makmum, tapi hanya memimpin mereka untuk rapi dalam menghamba kepada Allah.
Kemerdekaan manusia paling banyak dirampas oleh para raja dan penguasa. Baik cara merampasnya dengan kasar pakai tangan besi, maupun dengan konstitusi legal nan halus melalui pembahasan para wakil rakyat. Selagi yang merumuskan konstitusi adalah manusia, pasti ada bias dan melahirkan perampasan kemerdekaan meski terbungkus argumen indah.
Atas dasar pemahaman dalam tersebut, Al-Mutsanna menilai dakwah tauhid adalah tema yang dibenci para raja, sebab akan menggerogoti mekanisme penghambaan rakyat kepada raja yang selama ini berlangsung. Para raja dilucuti kekuasaan absolutnya, untuk menghamba dengan tunduk kepada Raja Diraja Alam Semesta. Maka, penguasa manapun yang menolak tauhid, niscaya karena ada penghambaan antar manusia di situ, sayang untuk melepaskannya.
Tantangan Merdeka
Umat Islam, dengan meneladani Rasulullah saw melontarkan tantangan fairplay kepada ahli kitab, sebagai perintah dari Allah. Tantangannya sebagai berikut:
Katakan (wahai Muhammad): “Hai Ahli Kitab, marilah (kita mengacu) kepada prinsip yang sama antara kita (kami dan Anda); bahwa kita tidak mengabdi kecuali kepada Allah, tidak menduakan Allah dengan sesuatu dan tidak (pula) sesama kita saling menuhankan untuk menandingi Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran: 64)
Ada tiga tantangan yang diajukan Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dalam ayat ini kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang jika diterima tantangan itu, tak ada salah satu pihak yang mendapat keuntungan politik sama sekali.
- Sama-sama mengabdi hanya kepada Allah.
- Sama-sama tak menduakan Allah dengan sesuatu. Allah diberi loyalitas dan ketundukan bulat dan eksklusif, tak ada share dengan yang lain.
- Sama-sama tak saling menuhankan. Manusia tak boleh menjadi tuhan untuk manusia lain, dengan semua variasi maknanya.
Tantangan ini bisa dianggap sebagai ajakan untuk merdeka dari penghambaan sesama manusia, untuk secara total hanya menghamba kepada Allah, Sang Pencipta. Tapi sayang ajakan fair ini cenderung ditolak oleh mereka. Patut dicurigai, siapa yang menolak ajakan merdeka berarti punya agenda tersembunyi; ingin tetap bisa mencengkeram umat manusia dengan penghambaan. Maklum, diberi loyalitas, pengabdian, layanan, pengorbanan, cinta buta, pembelaan dan sejenisnya adalah kandungan makna ‘dituhankan’, bagian menonjol dari kenikmatan dunia yang diperebutkan umat manuaia.
Dalam hal ‘manusia menuhankan manusia lain’ terdapat dua kezaliman; zalim kepada manusia, dan zalim kepada Allah. Kezaliman kepada manusia karena lahirnya ketimpangan di tengah masyarakat; ada yang hidupnya serba mudah (terlalu merdeka), dan ada yang serba susah (terpasung). Sementara Allah terzalimi dalam hal seharusnya hak ketuhanan hanya milik Allah, tapi dirampas oleh manusia. Maka, menolak tauhid pasti karena menolak merdeka. Wallahua’lam bisshawab.