Rahasia Kemenangan Umat Islam
Menulusuri Jejak Rahasia Kegemilangan Umat Islam
Andalus.or.id – Sampai saat ini umat Islam masih penasaran, bagaimana mengembalikan kekuatan umat yang pernah mereka raih dalam sejarah yang gemilang. Secara konsep, Islam menyimpan kekuatan dahsyat. Bila umat Islam mau mengambilnya, niscaya menjadi kekuatan super dalam percaturan dunia.
Islam itu unik, karena terdapat sejumlah paradoks yang justru akan menjadi pertanda kekuatannya. Jika Islam belum terlihat sisi paradoksnya, artinya kehebatan Islam belum mewujud di alam nyata.
Seorang muslim bisa sangat melankolis saat bermunajat di hadapan Allah melebihi orang yang sedang bercinta. Tipikal seorang ahli ibadah yang khusyuk, anti terhadap dunia. Namun saat siang tiba, ia spontan berubah menjadi petarung ganas yang siap menerkam kaum kafir. Ia tak rela kaum kafir menguasai dunia. Dia akan rebut dengan sekuat tenaga. Dia akan bertarung sebagai ksatria tangguh. Pantang cengeng. Sosok macho yang sempurna!
Islam penuh dengan paradoks semacam ini. Tak hanya menekankan sisi kelembutan, tapi juga kekerasan. Keduanya merupakan aspek kekuatan. Tinggal meletakkan masing-masing pada tempatnya. Islam mengajarkan hubbul-akhirah (cinta akhirat) yang berdampak pada ‘talak tiga’ terhadap dunia. Tapi juga mengajarkan jangan membiarkan dunia dikuasai kaum kafir. Dunia harus direbut dengan puncak kesungguhan (jihad) oleh orang-orang yang hatinya bersih dari cinta dunia (zuhud). Sebuah paradoks yang unik.
Dimensi Tunggal Sebabkan Lemahnya Kekuatan
Kaum sufi adalah contoh umat Islam yang gagal memahami dan melaksanakan Islam dengan keunikan paradoksnya. Bagi kaum sufi, Islam yang benar itu hanya punya sisi lembut dan memaafkan, baik terhadap lawan apalagi kawan. Agama hanyalah serangkaian nasihat spiritual yang menghasilkan kontemplasi yang melankolis dan sentimental. Bagi mereka, Islam yang benar adalah Islam yang selalu memaafkan, tak ada paksaan, kekerasan apalagi perang. Kaum sufi gagal memahami sisi paradoks ajaran Islam, dan itu jelas sebuah kelemahan.
Pada posisi berlawanan, kaum Khawarij cenderung ingin menampilkan Islam dari sisi tegasnya saja. Segala masalah maunya diselesaikan dengan kekerasan, hitam putih. Mereka tak mau menimbang masalah dengan banyak sudut pandang dan beragam variabel, maunya satu sudut pandang dan satu variabel saja. Akibatnya susah bermanuver, seperti banteng yang tahunya hanya maju terus sulit berbelok.
Baca Juga: Umat Islam Rindu Gerak
Begitulah kehidupan. Siapa yang gagal memahami masalah dengan multi dimensi dan gagal menerapkannya sesuai tuntutan keadaan, dijamin menjadi lemah. Satu sudut pandang niscaya menghasilkan gambar yang tidak utuh. Tapi bila melihat dari berbagai sudut pandang, gambar yang diperoleh akan sempurna.
Nabi Muhammad ﷺ Pemimpin Multi Dimensi
Nabi Muhammad ﷺ merupakan pemimpin sejati, yang mengkombinasikan berbagai paradoks dalam kehidupannya. Sesuatu yang menjadikan Nabi kian sempurna sebagai teladan umat manusia sepanjang masa.
Nabi Muhammad ﷺ seorang kepala rumah tangga dengan sembilan istri dalam keadaan miskin. Ini merupakan situasi paling sulit bagi seorang suami, harus memimpin sembilan wanita dengan adil tanpa didukung harta yang cukup. Nabi juga dituntut tetap romantis tanpa harus lebay atau tipu muslihat dalam rangka mengakurkan mereka semua. Sisi kelembutan dan ketegaran berpadu di sini. Nabi harus kuat menghadapi rayuan manja, ekspresi kecemburuan, persaingan, kubu-kubuan dengan tetap adil dan lembut. Ya, tegas tapi lembut.
Ketika di masjid, Nabi ﷺ tampil sebagai imam shalat yang khusyu’ dan mampu menghidupkan sisi spiritual para jamaah. Dalam kondisi ini, penghayatan ibadah menjadi kunci keberhasilan dalam mentransfer spirit penghambaan kepada jamaah.
Saat berhadapan dengan kaum kafir, Nabi menjadi sosok pemberani yang pantang mundur. Sebab bila panglima gentar atau kecil hati, barisan pasukan akan ciut nyali. Nabi harus menghayati dunia perang, yang kadang pilihannya sempit; membunuh atau terbunuh. Perang itu kejam, jika seseorang tak menyesuaikan diri dengan karakternya, ia akan dikalahkan. Berlembut-lembut dalam dunia perang bisa bermakna bunuh diri dan konyol. Sifat seorang petarung diperlukan di sini.
Baca Juga: Ujian Akhir Zaman, Bagi orang-orang yang Beriman
Lihatlah, betapa rumit paradoks dalam kehidupan Nabi. Dan hebatnya, Nabi ﷺ mampu memerankan dengan baik, dan memberi pelajaran penting; bahwa sejumlah paradoks ini merupakah rahasia kekuatan Islam. Nabi ﷺ harus memimpin dan meluluhkan para istri dengan pendekatan cinta dan kelembutan. Tapi juga harus bisa ganas laksana singa saat menjadi panglima di medan laga.
Repotnya lagi, kadang pendekatan ini bisa saling tukar. Misalnya dalam kasus para prajurit masih tertegun dan gondok pasca perjanjian Hudaibiyah, lalu Nabi memerintahkan mereka untuk menyembelih hewan ternak yang mereka bawa sebagai hadyu. Para prajurit tak ada yang menggubris perintah beliau. Nabi murung karena perintahnya sebagai panglima diabaikan prajurit. Tapi istrinya, Ummu Salamah, memberikan tips sederhana agar Nabi langsung memberi contoh saja daripada menyuruh. Akhirnya Nabi melaksanakan saran istrinya itu, dan para prajurit kemudian melaksanakan apa yang diperintahkan sebelumnya karena mencontoh tindakan, bukan karena mendengar perintah.
Kasus ini menarik, karena logika komandan adalah ‘perintah – laksanakan’, tak ada kamusnya sang komandan harus memberi contoh dulu baru prajurit menuruti. Jika seperti itu, komandan harus selalu di depan untuk menjamin anak buah mengikutinya. Jelas ini sangat berisiko, sang komandan akan mudah menjadi korban karena posisinya yang harus selalu di depan untuk meneladani.
Logika medan perang itu dibatalkan dalam kasus di atas karena solusinya adalah logika kepemimpinan rumah tangga dan dunia sipil, sesuatu yang sangat dipahami Nabi, sang suami dari sembilan istri, tapi tak menyangka itu diperlukan di medan perang. Mereka hanya mau menuruti jika yang memerintah juga mencontohkan. Sebuah paradoks yang menjadi rahasia kekuatan Islam.
Dengan demikian, rahasia kekuatan umat Islam ada pada keseluruhan dimensi ajaran Islam sendiri. Seorang muslim harus bisa menjadi ahli ibadah yang tekun, ikhlas dan khusyu’ bahkan diiringi tangisan iba pertobatan dan doa di malam hari. Seorang muslim harus memiliki kekuatan dan daya terkam laksana singa jika siang hari berhadapan dengan musuh Allah. Ia juga harus menjadi orang yang lembut, empati dan peduli terhadap sesama yang membutuhkan bantuan. Ia juga harus bisa tampil sebagai pria romantis di rumahnya. Ia juga harus bisa berdiplomasi dengan santun dan hikmah dengan bingkai akhlaq mulia.
Semua kemahiran itu harus diasah untuk menjadi kekuatan tersembunyi umat Islam yang tak akan bisa ditiru oleh kekuatan lain. Kekuatan yang bersumber dari wahyu dan teladan Nabi yang mulia. Amat memalukan jika misalnya Islam diisi oleh kader-kader yang hanya pandai merangkai rayuan gombal dan mengoleksi banyak istri tapi loyo saat berhadapan dengan kebatilan. Sungguh, ini bukan karakter yang sesungguhnya dari generasi pemikul Islam. Wallahua’lam bisshawab.