Kenapa Kita Naik Sekoci?

Andalus.or.id – Dulu kita memiliki kapal induk yang menampung dan mengayomi kaum muslimin. Kapal induk itu bernama khilafah Islamiyah. Berlayar di tengah badai, dalam masa yang sangat panjang. Karena berbagai hal, kaum muslimin pernah tiga kali mengganti kapal induknya. Mulai dengan kapal Umawiyah kemudian Abbasiah dan terakhir adalah kapal Utsmaniah.
Di rimba samudra, tidak hanya kapal induk kaum muslimin yang berlayar. Di sana juga ada kapal induk Inggris Raya, Prancis, Portugal, Rusia dan kapal induk kafir lainnya. Meski berbeda kapal, mereka kompak mengarahkan moncong meriamnya ke kapal kaum muslimin. Hingga akhirnya, mereka benar-benar menenggelamkan kapal kita pada tanggal 3 Maret 1924.
Kaum Muslimin Menaiki Sekoci
Di saat kondisi yang mencekam tersebut, kaum muslimin berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Sebagian ada yang menaiki sekoci, sebagian ada yang mencukupkan diri dengan memakai baju pelampung, sebagian lagi ada yang terlalu PD dengan kemampuannya, hingga berani terjun bebas ke tengah lautan.
Mereka yang menaiki sekoci sangat yakin, sekuat apapun fisik seseorang dan sepandai apapun ia berenang, tidak akan sanggup mengarungi samudra yang luas dengan berenang. Sehingga mereka mantap agar tetap berada di atas sekoci. Hari ini, sekoci itu kita kenal dengan jama’ah min ba’dil muslimin. Wujudnya adalah ormas Islam, organisasi, jama’ah dan lain sebagainya.
Apakah yang naik sekoci sudah pasti selamat?
Belum tentu…, ternyata yang menaiki sekoci banyak ragamnya. Di antara mereka ada yang sekedar ikut-ikutan. Mereka tidak tau siapa kapten sekoci yang sedang mereka tumpangi. Mereka tidak peduli, apakah kapten tersebut memiliki kemampuan navigasi yang baik atau tidak. Yang penting naik dan selamat.
Kondisi seperti itu dimanfaatkan oleh sebagian kapten sekoci yang tidak bertanggung jawab. Mereka memanfaatkan keluguan dan kebodohan penumpang sekoci untuk kepentingan pribadi. Sekoci yang seharusnya diungsikan ke tepian pantai, malah diarahkan ke kapal induk musuh. Sehingga jadilah penumpang sekoci bak hidangan di atas meja makan.
Baca Juga: Ujian Akhir Zaman bagi orang Beriman
Tidak semua kapten sekoci seperti itu. Di antara mereka banyak yang ikhlas. Hanya saja, sebagian mereka ada yang terlalu longgar mengumpulkan penumpang. Niatnya baik, yang penting kaum muslimin selamat. Namun ia tidak tau, kalau di antara penumpangnya ada bandit, penjahat, mata-mata dan sejenisnya. Sehingga kerap kali membuat sekocinya goyang dan oleng.
Di antara awak kapal induk tadi, ternyata ada orang yang tidak sadar, kenapa mereka harus naik sekoci. Mungkin di saat kapal hampir karam, mereka sedang tertidur. Mereka baru terbangun ketika air sudah menggenang di kasur tidurnya. Melihat saudaranya naik sekoci, mereka ikut naik sekoci. Mereka tidak tau kenapa kapal induknya karam. Sehingga secara sadar mereka malah mendekatkan sekoci mereka kepada kapal induk musuh. Berharap bisa mendapatkan bantuan dan bekerja sama.
Jika sebagian penumpang ada yang tidak peduli dengan siapa ia menaiki sekoci, ternyata ada sebagian penumpang yang selektif dalam memilih teman sekocinya. Mereka memberikan aturan yang ketat kepada calon penumpangnya. Mereka mensyaratkan bahwa teman sekocinya harus seperti ini dan seperti itu. Ketika sekoci yang lainnya sudah melaju, mereka masih saja diam di tempat. Karena menunggu teman yang benar-benar selevel dengan mereka.
Baca Juga: Rahasia Kemenangan Umat Islam
Jika yang tadi sangat selektif mencari teman sekoci, maka yang satu ini sangat super selektif. Sampai-sampai mereka memutuskan tidak naik sekoci dan hanya mengenakan baju pelampung. Karena tidak ada orang yang masuk dalam kriteria mereka kecuali beberapa orang saja.
Saking guluwnya, mereka mengharamkan sekoci. Karena bagi mereka sekoci adalah biang perpecahan awak kapal. Mereka menyuruh orang-orang yang ada di atas sekoci supaya turun darinya. Baginya, mengapung di atas lautan lebih baik dari pada bersekoci ria bersama orang yang tidak jelas amal ibadahnya.
Satu lagi, jika yang tadi kita katakan “Ekstrim Kanan, maka yang satu ini kita sebut mereka sebagai “Ekstrim Kiri”. Pasalnya mereka memaksakan semua orang untuk naik di atas sekocinya. Mereka memposiskan diri sebagai pengganti kapal induk yang karam. Mereka sampai mengkafirkan orang yang tidak mau naik di atas sekocinya. Mereka lupa, kalau mereka “hanyalah sebuah sekoci.”
Kenapa Kita Naik Sekoci?
Kenapa kita naik sekoci? Itulah pertanyaan penting yang harus dijawab oleh orang-orang yang menaiki sekoci. Jika kita berhasil menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat, insya Allah kita akan lebih mudah untuk menyatukan langkah bersama, meskipun kita tidak berada dalam satu sekoci yang sama.
Apa jawabannya? Ya, Anda benar. “Kita naik sekoci karena kapal induk kita pecah.” Sebab, kalau kita masih punya kapal induk yang luas dan nyaman, untuk apa kita memaksakan diri naik sekoci yang kecil dan sempit? Bukankah berada dalam kapal induk jauh lebih aman bila dibandingkan dengan berada di atas sekoci? Apa lagi saat ini musuh selalu membidik kita agar tenggelam selama-lamanya.
Oleh karena itu, sekoci apa pun yang sedang berlayar hari ini, hendaklah ia berlayar dalam keadaan sadar, bahwa ia hanyalah alat angkut emergency di saat kondisi kapal sedang karam. Tugasnya adalah mengangkut umat ke tepi pantai, lalu mengumpulkan kekuatan dan tenaga untuk membangun kembali kapal induk yang telah karam.
Hari ini tidak sedikit sekoci yang telah kehilangan kesadaran tersbut. Mereka menyangka membuat sekoci adalah tujuan utama. Ia sibuk memperindah sekocinya saja. Sehingga setelah ia merasa nyaman dengan sekoci tersebut, ia lupa dengan alasan kenapa ia harus naik sekoci.
Ketika ia melihat sekoci yang lain mengajak saudaranya untuk membangun kembali kapal induk yang telah karam, ia berkata, “Apakah kita masih butuh kapal induk? Bukankah sekoci yang kita naiki sekarang sudah cukup untuk membuat kita leluasa beribadah?”.
Masya Allah, tulisan yang luar biasa memberi inspirasi. Mari, kumpulkan kekuatan umat. Kita songsong fajar kemenangan dengan bersama-sama dalam ikatan perjuangan Islam.