Umat Rindu Gerak
Sebuah Catatan Reuni Aksi Bela Islam 212

Andalus.or.id – Reuni Aksi Bela Islam 212 pada Kamis, 2 Desember 2021 lalu, menjadi agenda umat setelah tahun yang lalu tidak bisa digelar akibat adanya wabah covid. Meski banyak cibiran dan ancaman, tidak membuat umat islam terhenti untuk menyemarakkan reuni aksi 212, yang memang selalu digelar pada tanggal 2 Desember setiap tahunnya, hal ini mengindikasikan bahwa hakikatnya umat saat ini, rindu untuk bergerak.
Ada yang berseloroh, reuni lebih sepi karena tidak ada “setan” sebagai pemicu kehadiran. Berbeda dengan tahun 2016, aura heroik sangat terasa karena sang “setan” jelas sosoknya sehingga umat dari segala lapisan, aliran dan kelompok berduyun-duyun datang dari berbagai penjuru nusantara.
Satu hal yang menarik dicatat, riuhnya umat hadir di Monas mengindikasikan bahwa umat ini rindu gerak, tidak lagi betah untuk diam. Dalam dunia kesehatan, diam artinya menumpuk penyakit. Olahraga akan menjadikan fisik sehat dan kuat, daya tahan tubuh meningkat, dan endapan-endapan penyakit bisa terbuang bersama keringat.
Begitulah perumpamaan umat ini. Mereka masih minim gerak dalam bingkai keumatan. Umat yang masih asyik mematut diri di depan cermin; memuji wajah sendiri yang jumlahnya mayoritas, pastilah pihak lain akan gentar hanya dengan membaca deretan angka jumlah umat Islam. Umat yang masih asik diskusi ala warung kopi, belum turun di lapangan dengan gerak. Umat yang masih minim kreatifitas dalam mencari solusi problemnya sendiri.
Tiada Kemenangan Tanpa Gerak
Kemenangan Islam adalah sebuah proses meluncurnya kelereng al-haqq dengan deras, lalu menghantam kelereng batil yang berdiam di suatu wilayah, yang dengan hantaman itu kelereng batil terpental, dan tempatnya semula menjadi tempat bersemayam kelereng al-haqq. Maknanya, tanpa GERAK dan KEKUATAN, mustahil ada kisah kemenangan Islam. Tanpa GERAK dan KEKUATAN mustahil kebatilan akan tersingkir dari kehidupan umat Islam.
Perumpamaan ini sangat sederhana. Tapi entah mengapa, masih banyak umat Islam yang belum menyadarinya. Masih ada yang beranggapan, bahwa problematika umat ini solusinya hanya dengan taklim. Manakala umat hadir dan duduk manis di majelis taklim, lalu mendapat asupan ilmu, niscaya akan membuat mereka semua tiba-tiba unggul dan menang. Meski tak begitu jelas, menang dari apa.
Padahal tabiat kehidupan tidaklah demikian. Bayi tidak cukup hanya mendengar dari ibunya bagaimana teori merangkak dan berjalan. Bayi harus latihan berulang-ulang dalam sebuah praktek nyata, barulah ia bisa merangkak lalu berjalan. Bahkan ia pasti melalui jatuh bangun karenanya.
Umat ini sudah cukup kenyang dengan asupan teoritis ilmiah. Baik melalui televisi, radio, buku, majalah, website, Youtube, Facebook, Instagram, dan grup-grup WhatsApp. Panduan tentang halal-haram, tutorial melakukan sebuah amalan dan bagaimana cara memenangkan Islam sudah lengkap dan bertebaran. Kalau masih bingung, tinggal klik tanya ke Mbah Google maka semua jawaban sudah tersedia.
Lalu apa yang kurang? Kekurangannya adalah belum turun menjadi gerak kehidupan. Padahal Islam diwahyukan melalui Nabi Muhammad bukan hanya untuk dikonsumsi akal dan hati, tapi juga untuk diresapi oleh tangan dan kaki. Jika agama ini hanya menjadi tema seminar dan pembahasan di majelis taklim, itu artinya agama ini masih bersifat kebatinan dan tasawuf. Belum agama yang hidup di tengah realitas sosial manusia.
Islam yang dipraktekkan Nabi adalah Islam yang dinamis. Apapun yang diwahyukan, langsung dipraktekkan di lapangan, baik obyek pelaksanaan kalangan internal maupun eksternal. Secara eksternal, ketika turun wahyu untuk memberi peringatan sanak saudara agar meninggalkan berhala dan mentauhidkan Allah, Nabi langsung mengumpulkan mereka dan mengingatkan hal tersebut. Tak peduli apa yang akan terjadi dengan inisiatif itu. Padahal obyek pelaksanaan perintah ini adalah masyarakat yang masih fanatik dengan syirik, dan sangat berpotensi tersinggung lalu membalas dengan keras.
Tapi begitulah tabiat agama ini. Agama yang tidak berhenti sebagai pemahaman di kepala dan keyakinan di hati, tapi agama yang berdenyut bersama detak kehidupan. Agama yang menyatu dengan GERAK dan KEKUATAN. Karena kelak balasan kaum kafir juga gelombang GERAK dan KEKUATAN, bukan hanya menyimpan rasa tersinggung dan kemarahan di dalam hati sembari wajah tetap berseri dan bibir tersenyum.
Ketika Nabi mengalirkan agama ini bersama gerak kehidupan, dari situ Nabi memungut kekuatan. Bersama aliran, Nabi mengoreksi. Bersama aliran, Nabi mentarbiyah diri dan para Sahabat. Bersama aliran, Nabi membuang kaum munafiq – sampah perjuangan, sebagaimana aliran sungai membawa sampah ke muara dan tepian. Air yang diam tergenang, tak punya cara membuang sampah yang terjatuh di dalamnya. Bahkan air ikut berbau busuk atau beracun seluruhnya.
Demikianlah umat Islam hari ini. Duduk manisnya mereka di majelis taklim, jenggotnya yang menjadi panjang dan pakaiannya yang berubah cingkrang, itu belum keluar dari sebutan diam. Sebab masih asyik dengan dirinya sendiri. Belum keluar. Maka haruslah berlanjut menjadi gerak padu-padan bersama elemen umat yang lain untuk menyapu kemunkaran, korupsi, narkoba, lintah darat, juragan maksiyat, syiah, aliran sesat, demokrasi, penguasa zalim dan kaukus kekafiran global. Semua hal tersebut tak bisa didongkel hanya dengan tawaran ilmu, tapi harus dikombinasi dengan gerak dan kekuatan.
Mencari Inisiator
Nah problem berikutnya adalah siapa yang akan memimpin. Problem ini juga sama solusinya. Bukan hanya dengan mengangankan, atau memunajatkan dalam doa dengan derai air mata meminta sosok pemimpin kepada Allah. Tapi wajib dibarengi dengan gerak dan praktek. Harus diawali dengan memimpin umat ini untuk bergerak dan melawan. Dalam riuh-rendah gerak dan perlawan, secara alamiah akan lahir sosok tangguh dan teruji menjadi pemimpin.
Cara Allah menganugerahkan pemimpin bukan dengan menurunkan sang ratu adil melayang-layang turun dari langit, tapi memunculkan sosoknya dari puing-puing gerak dan perlawanan. Ketika kebanyakan yang lain kehabisan stamina, maka sang pemimpin adalah yang paling kuat dan perkasa di antara mereka. Nabi saja meraih kepemimpinan dengan rangkaian panjang babak demi babak pertarungan, bukan diturunkan jlug dari angkasa. Apalagi calon pemimpin umat masa depan, yang sudah pasti bukan seorang nabi.
Maka tugas kita hari ini adalah menyiapkan kawah itu. Kawah gerak dan perlawanan untuk melahirkan pemimpin. Gerak dan perlawanan yang melibatkan seluruh lapisan umat. Bersama-sama bergerak dengan deras untuk menggeser singgasana kelereng kebatilan.
Umat tak akan bisa gerak hanya dengan diminta hadir di majelis daurah atau training lalu sesudah itu akan dengan sendirinya kreatif untuk bergerak. Umat mesti diberi contoh nyata bagaimana cara bergerak. Umat perlu diberi bukti bahwa kita bisa memberi contoh gerak itu. Umat perlu melihat hasil dari gerak kita itu. Barulah setelah setahun atau dua tahun, atau bahkan lima tahun kemudian, mereka terinspirasi untuk ikut bergerak.
Itu artinya para ustadz, para dai dan muballigh yang pertama-tama turun ke lapangan untuk gerak. Sebagaimana umat menjadikan para ustadz sebagai rujukan ilmu, mereka tentu akan menjadikan ustadz sebagai rujukan gerak. Mereka akan ikut bergerak jika ustadznya memimpin gerak. Ustadz yang hanya menghantarkan ilmu dan menikmati “berkah” dari ceramahnya, lalu pulang ke rumah untuk bercengkerama dengan keluarga, harus segera bangun dan turun gunung. Tatkala para ustadz menikmati zona nyaman, umat juga akan ikut gaya hidup itu. Hanya dengan gerak, kehidupan akan berlanjut. Diam artinya mati. Wallahua’lam bis-shawab.
@elhakimi