Rahasia & Hikmah di Balik Shaum Asyuro

Andalus.or.id- Asyuro’, kata yang tidak asing di telinga kita. Orang-orang jawa menyebutnya dengan suro. Dikatakan asyuro’ karena diambil dari kata ‘asyaro (sepuluh), dan tasu’a dari kata tis’un (sembilan). Masyhur di kalangan ulama’ salaf dan khalaf kalau Asyuro’ adalah hari ke-10 Muharram sedangkan Tasu’a adalah ke-9 Muharram. (Lihat, al-Mishbah al-Munir, 1/75).
Dan sudah menjadi sunnatullah apabila ada bulan atau hari yang diistimewakan di atas bulan-bulan dan hari-hari lainnya. Itu semua karena ada rahasia dan hikmah terpendam di dalamnya. Keutamaan bulan Ramadhan adalah pada Lailatul Qadar. Dan keutamaan bulan Dzulhijjah ada pada manasik haji, ibadah udhiyyah, wukuf dan shaum Arafah. Demikian pula bulan Muharram, keutamaannya terletak pada Asyuro’.
Ada apakah asyuro’ sampai-sampai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menyebutnya dengan, “Sebaik-baik shaum sesudah Ramadhan adalah bulan Allah al-Muharram.” (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa sebaik-baik shaum setelah shaum Ramadhan adalah shaum Muharram, dan sampai menisbatkan bulan ini kepada Allah. Maknanya adalah untuk memuliakan bulan ini.
Ath-Thayyibi mengatakan, “Shaum yang dimaksud adalah shaum asyuro”. Sedangkan Mulla al-Qâri’ berpendapat, secara zhahir maksudnya adalah satu bulan Muharram penuh. (Tuhfât al-Ahwadzi, 3/368, 425).
1/ Asyuro’ adalah hari diselamatkannya Nabi Musa dan pengikutnya, dan ditenggelamkannya Fir’aun dan bala tentaranya. Karena itulah Nabi Musa mengungkapkan rasa syukurnya dengan ibadah shaum.
Dan ini diikuti oleh kaum Yahudi. Maka dari itulah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam merasa lebih pantas dan lebih berhak terhadap rasa syukur Nabi Musa ‘alaihis-salam dibandingkan mereka kaum Yahudi; dan menyuruh umatnya untuk meneladaninya.
Abdullah Ibnu Abbas radhiyallâhu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mendatangi Madinah, didapatinya orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apakah ini, hingga kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Karena itulah Musa berpuasa untuk menyatakan syukur, dan kami pun ikut berpuasa.” Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih pantas terhadap Musa dibandingkan kalian”; lalu beliau mengerjakan shaum dan menyuruh untuk shaum. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan ucapan beliau, “Kami lebih berhak dan lebih pantas terhadap Musa dibandingkan kalian”, membantah anggapan bahwa shaum yang dilakukannya adalah karena ikut-ikutan kaum Yahudi. Akan tetapi adalah karena mensyukuri nikmat Allah yang telah memberikan kemenangan kepada Nabi Musa.
2/ Asyuro adalah hari pergantian kiswah Ka’bah oleh kaum Quraisy terdahulu; dan melakukan shaum pada hari itu.
Aisyah radhiyallâhu ‘anha bercerita, “Mereka biasa melakukan shaum Asyuro’ sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan. Hari tersebut adalah hari dipakaikannya kiswah Ka’bah. Ketika Allah mewajibkan shaum Ramadhan, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin tetap shaum Asyuro, silakan dia shaum. Dan barangsiapa yang ingin tidak shaum, silakan untuk tidak shaum.” (HR. Bukhari).
Dari hadits diatas mengindikasikan bahwa orang-orang Quraisy terdahulu berbuat demikian karena mewarisi tradisi nenek moyang mereka dengan mengistimewakan 10 Muharram sebagai hari pemakaian dan pergantian kiswan Ka’bah. Ini menunjukkan bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diistimewakan oleh bangsa Arab Musta’rabah sebelumnya. Untuk memuliakan hari tersebut, mereka menghiasinya dengan shaum seperti penuturan ibunda Aisyah diatas.
Imam al-Qurthubi menjelaskan, “Bisa jadi orang Quraisy melakukan hal tersebut adalah karena bersandar kepada syariat nenek moyang mereka seperti Nabi Ibrahim.” (Fathul Bary, 4/248).
Ibnu Juraij berkata, “Sebagian ulama’ kami beranggapan orang yang pertama kali memakaikan kiswah Ka’bah adalah Nabi Ismail ‘alaihis-salam. (Umdat al-Qâri, 9/234).
3/ Asyuro adalah shaumnya umat Islam pada generasi awal dan hukumnya wajib.
Salamah ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu bercerita, “Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam memerintahkan seseorang dari Bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang telah makan, maka hendaklah dia shaum pada sisa harinya. Dan barangsiapa yang belum sempat makan, hendaklah dia shaum. Karena hari ini adalah hari Asyuro’. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallâhu ‘anha juga bercerita, “Pada pagi hari Asyuro’ Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang untuk menyampaikan pengumuman ke kampung-kampung Anshar, “Barangsiapa yang di pagi hari ini sudah makan, hendaklah dia sempurnakan sisa harinya dengan melakukan shaum. Dan barangsiapa yang sudah shaum, hendaklah dia tetap shaum.”
Rubayyi’ berkata, “Sejak saat itu kami selalu shaum (maksudnya Asyuro’), dan kami biasakan anak-anak kami untuk shaum. Yaitu kami buatkan mereka mainan yang terbuat dari bulu domba. Jika salah seorang mereka menangis karena meminta makan, kami berikan mainan tersebut sampai datangnya waktu berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sampai turunnya kewajiban shaum Ramadhan, barulah shaum Asyuro’ jadi disunnahkan. Sebagaimana penjelasan ibunda Aisyah radhiyallâhu ‘anha, “Maka ketika Allah mewajibkan shaum Ramadhan, maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin tetap shaum Asyuro’, silakan dia shaum. Dan barangsiapa yang ingin tidak shaum, silakan untuk tidak shaum.” (HR. Bukhari).
Kesimpulannya, shaum Asyuro’ adalah bagian dari syariat umat-umat terdahulu, khususnya para rasul ulul azmi. Diantaranya adalah Nabi Musa ‘alaihis-salam yang dimenangkan atas Fir’aun dan bala tentaranya; dan Nabi Nuh ‘alaihis-salam yang dilabuhkan kapalnya di atas bukit Judiy. Demikian pula dengan Nabi Isa ‘alaihis-salam yang mengerjakan shaum ini. (Lihat, Fathul Bary Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/248).
Dan berdasarkan keterangan ibunda Aisyah radhiyallâhu ‘anha diatas dan Imam Qurthubi, terindikasi bahwa syariat shaum asyuro’ juga ada pada zaman Nabi Ibrahim ‘alaihis-salam.
Demikian pula wajibnya shaum asyuro’ atas para sahabat adalah setelah peristiwa hijrah ke Madinah; yaitu setelah Allah menyelamatkan beliau dari kejaran kaumnya Quraisy. Barulah setelah turun kewajiban shaum Ramadhan, shaum asyuro’ jadi disunnahkan. Dan barulah ketika menjelang wafatnya, shaum tasu’a disyariatkan. Alasannya, agar umatnya terselamatkan dari kesamaan prilaku dan ibadah dengan ahlul kitab. Maka dari itulah mengapa hal itu baru terucap menjelang wafatnya Rasul, padahal syariat tersebut belumlah ada pada masa hidup beliau?
“Andai aku masih hidup di tahun mendatang, aku akan shaum pada tanggal kesembilan.” Demikian pesan beliau kepada umatnya.
Ibnu Abbas berkata, “Kerjakanlah shaum pada tanggal sembilan dan sepuluh. Selisihilah orang-orang Yahudi.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi, sanadnya shahih).
Ibnu Abbas berkata ketika seseorang bertanya kepadanya tentang shaum Asyuro’, “Apabila engkau telah mengetahui hilal Muharram, maka bersiap-siaplah. Dan kerjakanlah shaum pada hari kesembilan.” Orang tersebut bertanya, “Beginikah Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam melakukannya?” Ibnu Abbas menjawab, “Iya.” (HR. Muslim).
Maka sungguh tepat bila di tahun 16 hijriyah, Khalifah Umar bersama Ali radhiyallâhu ‘anhuma merumuskan Muharram sebagai awal kalender hijriyah dan terhitung dari awal hijrah Rasul yang sebagai tolak awal kemenangan Islam. Sungguh ini adalah hikmah besar yang Allah anugerahkan kepada dua sahabat mulia. (*)
Oleh : Abu Asiyah Zarkasyi