Nabi Ibrahim, Founding Father Peradaban Tauhid
Nabi Ibrahim Sang Bapak Ideolog

Andalus.or.id – Secara fakta, wujud peradaban umat manusia hanya dua; peradaban Tauhid dan peradaban syirik. Masing-masing memiliki bangunan utuh yang bisa dilihat dari kelengkapan infrastruktur masing-masing. Meski berbeda secara diametral, keduanya memiliki satu kesamaan; berupaya berebut memimpin umat manusia.
Jika ditarik garis vertikal, peradaban Tauhid bersumber dari Allah Ta’ala, dzat yang mencipta dan mengatur alam semesta. Garis penyambungnya adalah para nabi dan rasul. Dan di alam realita, umat Islam memainkan peran sebagai garis horizontal yang menerjemahkan konsepsi Tauhid dalam tatanan kehidupan baik individu maupun bernegara. Sebagai sebuah struktur peradaban, semua unsur pembentuknya telah lengkap sehingga bisa berdiri secara mandiri vis a vis peradaban rivalnya.
Demikian halnya dengan peradaban syirik, secara vertikal bersambung dengan sumber spirit tertingginya; Iblis la’natullah alaih. Lalu disambung dengan garis penghubungnya, syaithan jin dan syaithan manusia. Pada tataran praktek, masyarakat jahiliyah membentuk garis horizontal dengan berbagai macam produk peradaban; tata negara Demokrasi, ekonomi Kapitalis dan gaya hidup hedonis. Dua peradaban inilah yang memiliki perangkat paling lengkap untuk disebut peradaban, karenanya saling jegal secara abadi.
Peradaban Ilmu vs Peradaban Jahil
Peradaban jahiliyah dicirikan dengan kegelapan, dhulumat. Ia terbentuk secara alami sebagai dampak kejahilan yang melanda pikiran dan hati manusia. Menjadi jahiliyah itu mudah, cukup membiarkan diri dalam ketidaktahuan terhadap syariat Allah maka dengan sendirinya akan men-jahiliyah.
Apalagi manusia dibekali naluri yang mendukung kejahiliyahan itu; seperti dorongan syahwat, tarikan nafsu kekuasaan, nafsu meraup harta kekayaan dan sebagainya. Ketika semua bekal naluriah itu diasah oleh spirit Iblis, jadilah ia jahiliyah yang pekat dan sempurna.
Berbeda dengan peradaban Tauhid. Ia dicirikan dengan cahaya, nuur. Peradaban Tauhid dibangun di atas pondasi ilmu yang menerangi perjalanan laksana cahaya benderang dari lampu-lampu jalan. Manusia menjadi mudah menempuh perjalanannya; ke mana tujuannya, kapan berhenti, kapan belok, kapan lari, kapan merangkak, dan seterusnya.
Manusia memang dibekali naluri pengakuan terhadap Pencipta. Tapi itu belum tentu akan membuahkan ilmu yang detail tentang bagaimana cara menghamba kepada Allah dengan benar. Hal ini disebabkan manusia sangat mudah terpengaruh oleh panca inderanya dan kesimpulan-kesimpulan subyektif dari sejumlah momen pengalaman hidupnya.
Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim Melawan Raja Namrud
Sebagai contoh, ketika manusia memasuki kuburan atau tempat-tempat yang gelap dan angker, bulu kuduknya berdiri. Momen ini melahirkan praduga subyektif, jangan-jangan karena tempat ini ada ‘penunggu’nya yang mungkin tidak suka dengan kehadiran saya. Maka ia mencoba membuat formula solusi, ia melafalkan kalimat permintaan ijin kepada ‘penguasa’ tempat itu.
Dan ternyata, setelah ia melakukannya, rasa takutnya berangsur hilang dan bulu kuduknya tak lagi berdiri. Ia tanpa sadar menemukan solusi syirik di balik momen kehidupannya. Celakanya pengalaman ini akan diajarkan turun temurun sehingga melahirkan nilai dan tradisi yang mengakar.
Dengan demikian, Tauhid dan detail aplikasinya tak mungkin diserahkan pada praduga akal, pengalaman empiris dan kreatifitas solusi manusia dengan cara mengalir begitu saja mengikuti nalurinya. Jika ini terjadi, syiriklah yang akan tumbuh subur. Berarti Tauhid mutlak membutuhkan ilmu, yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Sesuatu yang bersifat baru dan kadang terasa bertolak-belakang dengan akal dan perasaan manusia.
Ibrahim Alaihissalam; Pondasi Peradaban Tauhid
Konsepsi Tauhid berasal dari Allah, Ibrahim Alaihissalam bertindak sebagai model yang memperagakan konsepsi secara utuh. Bukan hanya sebagai model, Ibrahim Alaihissalam juga perintis dan peletak dasar peradaban tauhid, baik secara software maupun hardware.
Kisah Ibrahim Alaihissalam sebagiannya bersifat spektakuler karena dilakukan di hadapan manusia ramai dan menjadi isu besar satu negara. Kisah penghancuran berhala di altar penyembahan, lalu persidangan dan pembakaran dirinya, merupakan peristiwa besar yang memngguncang sendi-sendi negara. Sangat pas kisah semacam ini direkam sebagai data sejarah yang penting, seperti halnya kisah banjir besar zaman Nuh Alaihissalam. Menurut ilmu jurnalistik, sangat layak menjadi berita karena berdampak luas bagi masyarakat.
Namun sebagian lain kisah Ibrahim Alaihissalam terjadi dalam kesunyian. Direkam oleh Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW bukan karena nilai beritanya, tapi sisi strategisnya dalam upaya membangun peradaban Tauhid. Lihatlah, siapa yang melihat peristiwa mengharukan, saat Hajar dan Ismail yang masih menyusu ditinggal di Makkah oleh Ibrahim Alaihissalam untuk kembali ke Palestina seorang diri. Kalau bukan karena sumur Zamzam yang menyusul peristiwa ini, peristiwa ini hanyalah rekaman momen kehidupan biasa.
Tapi justru inilah keunikan Islam. Ia hendak membangun peradaban Tauhid, yang bertumpu pada hati dan pikiran manusia, yang diemban manusia dengan dadanya. Bukan peradaban jahiliyah yang dibangun di permukaan tanah menjadi bangunan tinggi atau pahatan-pahatan indah, tapi tak mengakar di hati dan pikiran manusia. Ibrahim AS tidak meninggalkan bangunan yang spektakuler, tapi ia hanya meninggalkan sikap Tauhid sebagai warisan untuk hati dan pikiran manusia.
Banyak hal strategis peninggalan Ibrahim Alaihissalam yang bisa dinilai sebagai pondasi peradaban Tauhid.
Pertama, Ibrahim Alaihissalam adalah sosok yang hanif ( حنيفا ), tunduk kepada Allah dan tak punya kecondongan kepada syirik.
Kedua, Ibrahim Alaihissalam tidak terafiliasi dengan kaum musyrikin. (وما كان من المشركين ). Ciri kedua ini menegaskan tauhid Ibrahim Alaihissalam. Sebab boleh jadi seseorang tidak musyrik, tapi menjadi supporter kaum musyrikin. Atau loyal atau bangga meniru mereka. Ibrahim AS tidak melakukan semuanya.
Ketiga, Ibrahim Alaihissalam menghancurkan pusat sentimen ideologi syirik; berhala. Ibrahim AS melakukannya dengan gagah berani seorang diri di malam yang sunyi, di tengah rumor kehebatan berhala dalam menimbulkan bala. Mitos semu tersebut dirobohkan.
Keempat, Ibrahim Alaihissalam tak hanya menghancurkan secara fisik, tapi logika pembenar ideologi berhala juga dirobohkan, sehingga keberhalaan secara konsepsi ikut roboh. Sengaja ia menyisakan berhala paling besar sebagai entry-point meruntuhkan bangunan peradaban syirik hingga akarnya. Ketidakmampuan berhala terbesar melindungi berhala-berhala kecil membuktikan kepalsuannya.
Kelima, setelah meruntuhkan fisik dan konsepsi syirik, harus dilanjutkan dengan membangun peradaban Tauhid sebagai penggantinya. Tapi di mana dan bagaimana? Makkah menjadi jawabannya. Tanah yang tak bersahabat, tapi menjadi tempat paling ideal untuk membangun peradaban Tauhid dari nol.
Keenam, dalam membangun diperlukan pengorbanan, dan Ibrahim Alaihissalam memberi contoh pengorbanan dengan nilai yang tak tertandingi. Atas perintah dari Allah, beliau mengorbankan buah hatinya, Ismail calon penerus ayahnya yang telah lama ditunggu kelahirannya hingga sangat tua, tak ada kader lain yang akan menggantikannya, dengan cara yang paling sadis; menyembelihnya dengan tangannya sendiri. Duhai, adakah yang bisa melampauinya ?
Ketujuh, menanamkan jiwa keumatan, bukan nasionalisme. Ibrahim Alaihissalam saat berdoa untuk kemakmuran penduduk Makkah, tetap memberi catatan; khusus bagi yang beriman kepada Allah dan hari akhir (QS. Al-Baqarah: 126). Bingkai keumatan ini akan memelihara peradaban Tauhid tetap orisinil, tak terkontaminasi peradaban syirik.
Dengan ini semua, tak ada yang menyangkal, Ibrahim Alaihissalam adalah bapak peletak dasar peradaban Tauhid. Saatnya kita meneladani dan melanjutkan perjuangannya. Amien. wallahua’lam.