Menghadirkan Majelis Ilmu Dalam Rumah

Andalus.or.id Ilmu merupakan wasilah untuk beramal dengan benar. Amal hanya berdasarkan prasangka jika tanpa didasari ilmu. Kadang dianggap baik, padahal dalam pandangan Allah tidak baik, atau sebaliknya.

Ilmu pula mengantarkan manusia meraih derajat yang paling tinggi. Ilmu mengantarkan seseorang untuk mengetahui kewajiban syar’i yang harus ditunaikan. Baik tentang ibadah, muamalah, asma dan sifat Allah. Tentang perintah dan larangan, halal dan haram dan lainnya.

Derajat Orang Berilmu

Allah meninggikan derajat nabi Adam dengan ilmu. Allah mengajarkan nama-nama benda. hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 31:

وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِـُٔونِى بِأَسْمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!’.

Allah memerintahkan Adam memberitahukan para malaikat nama-nama benda yang telah diajarkan kepadanya untuk mengingatkan kedudukan dan keutamaannya yang tinggi. Adam memperoleh keutamaan dan kemuliaan berdasarkan ilmu yang dimilikinya sehingga Allah memerintahkan malaikat sujud kepadanya.

Derajat yang tinggi bagi ahli ilmu tidak dapat disandingkan dengan orang-orang yang tidak berilmu. Dalam surat Az Zumar ayat 9 Allah berfirman yang artinya:

“Katakanlah, ‘Apakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Bahwasanya orang-orang yang berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyebutkan, sesungguhnya Allah Ta’ala menafikan persamaan antara ahli ilmu dengan yang lainnya, sebagaimana Dia menafikan persamaan antara para penghuni surga dan para penghuni neraka.

Baca Juga: Kewajiban Berbakti Kepada Orangtua

Banyak ayat dan hadits yang menerangkan keutamaan ilmu dan ahlinya. Begitu pula perkataan para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Di antaranya ungkapan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ‘Ilmu lebih baik dari harta, karena harta kamu yang menjaganya, sedangkan ilmu yang akan menjagamu. Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sedangkan ilmu akan berkembang jika diajarkan. Ilmu adalah penguasa, sedangkan harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta, padahal mereka masih hidup, sementara ahli ilmu akan tetap hidup sepanjang masa, meskipun jasad mereka telah lenyap, tetapi atsar dan pengaruhnya akan ada dan membekas dalam hati’.

Mu’adz bin Jabal juga mengungkapkan keutamaan ilmu dan ahlinya. “Tuntutlah ilmu, sebab menuntutnya untuk mencari keridhaan Allah adalah ibadah, mengetahuinya adalah khasyah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang-orang yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah dan mendiskusikannya adalah tasbih. Dengan ilmu Allah diketahui dan disembah, dan dengan ilmu pula Allah diagungkan dan ditauhidkan. Allah mengangkat kedudukan suatu kaum dengan ilmu dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan imam bagi manusia. Manusia mendapatkan petunjuk melalui mereka dan akan merujuk kepada pendapat mereka.”

Majelis Ilmu di Rumah

Melihat tinggi dan mulianya ilmu dan pemiliknya, sudah selayaknya setiap orang tua membekali diri dan keluarganya dengan ilmu. Mengenalkan keluarganya akan tanggung jawab yang harus ditunaikan kepada Allah.

Oleh karenanya, menghadirkan majelis ilmu dalam rumah amatlah begitu penting.  Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ‘jagalah diri dan keluargamu dari api neraka’ (At Tahrim; 6) mengutip ungkapan Sufyan Ats Tsauri untuk mendidik dan mengajari keluarga dengan ilmu.

Seorang ayah berkewajiban mengajari anaknya tentang thaharah dan shalat saat usianya menginjak tujuh tahun. Wajib mendidik anak untuk menunaikan kewajiban shalat saat usia sepuluh tahun, sebagaimana hadits Rasulullah.

Para sahabat menganjurkan agar para bapak mengajarkan anak-anak mereka yang masih kecil perkara-perkara yang kelak menjadi fardhu ‘ain setelah usia baligh. Orang tua harus mengajarkan thaharah, shalat, puasa dan kewajiban-kewajiban yang lain. Orang tua pula harus menerangkan keharaman zina, liwath, mencuri, minum khamr, berbohong, ghibah. Menerangkan kepada anak-anak saat usia baligh bahwa mereka terkena beban taklif –tanggung jawab- untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mengajarkan mereka Al Qur’an, fiqh, adab dan apa-apa yang membuat baik anak-anak di dunia dan akherat.

Mengenalkan rukun iman dan rukun Islam. mengajarkan anak mencintai Allah, Rasul dan orang-orang mukmin. Mengajarkan tentang adab-adab Islam, melatih ringan beribadah. Menanamkan ketegasan dalam membenci orang yang membenci Allah dan Rasulnya. Menanamkan cinta jihad dan mati syahid. Membiasakan dengan doa-doa harian, serta meluruskan berbagai pemahaman salah yang didapat dari sekolah, lingkungan dan teman-teman sebayanya.

Bagaimana Ayah Mengajari Keluarganya?

Ada pertanyaan cukup menarik, bagaimana orang tua, khususnya seorang ayah mengajarkan Islam kepada anak-anaknya? Ada banyak cara. Di antaranya;

Pertama; menjadikan rumah sebagai majelis ilmu. Orang tua secara rutin mengajarkan Islam kepada anak-anaknya. Misalnya setelah Magrib dengan membaca Al Qur’an, menjelaskan secara sederhana kandungan di dalamnya. Menerangkan kewajiban-kewajiban seorang muslim. Selain itu, membuat rumah seperti perpustakaan keluarga. Orang tua menyediakan bacaan-bacaan yang mampu menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.

Kedua; dengan bertanya kepada para ustadz, kyai dan ahlu ilmi lainya. Ini terhadap persoalan-persoalan pokok dalam Islam yang tidak dimengerti keluarga dengan baik.

Ketiga; mendorong keluarga gemar dan bersemangat mencari ilmu. Baik dengan menghadiri majelis-majelis taklim, mendengar nasehat-nasehat keagamaan maupun menghadiri majelis-mejelis orang-orang shalih. Seorang istri mendorong suaminya untuk ringan ke masjid, menghadiri majelis ilmu, bersahabat dengan orang-orang shalih. Begitu pula terhadap anak-anaknya, didorong untuk gemar dan giat menuntut ilmu. Memilihkan teman yang baik, bacaan yang baik dan lingkungan yang mendukung kekokohan imannya. (mulyanto)

Tentang Penulis

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button