Kasih Sayang Rajulun Shalih

Andalus.or.id- Selain karakter khas yang harus dimiliki seperti ketaqwaan, amar ma’ruf nahyi munkar, jihad di jalan Allah, sabar dan gigih dengan ujian, rajulun shalih juga harus memiliki sifat tegas dan kasih sayang. Ketegasan dan kasih sayang diperlukan untuk mengokohkan bangunan rumah tangga agar tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Keluarga yang penuh dengan ketenangan, cinta dan kasih sayang dalam bingkai ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sementara interaksi dengan sesama mukmin akan melahirkan ketentraman bermasyarakat. Muamalahnya dengan orang kafir akan memunculkan ketinggian akhlak dan harga diri seorang muslim.
Lemah Lembut Sesama Mukmin, Keras Terhadap Orang Kafir
Kasih sayang sesama mukmin dan keras terhadap orang kafir adalah perwujudan iman rajulun shalih. Sifat ini melekat dan menjadi dasar interaksi sesama mukmin, begitupula dengan orang kafir. Inilah perwujudan dari ayat Allah dalam surat Al Fath; 29, ‘Muhammad itu utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mereka’.
Mencintai sesama mukmin menjadi pondasi dalam mencintai keluarga. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari).
Kebersamaan dengan sesama mukmin lebih menentramkan dalam interaksi sesama makhluk. Karena itu, Rasulullah ﷺ melarang untuk mengkhianati, menipu, mendustakan dan menghinanya. Ini sebagaimana hadits Rasulullah ﷺ, “Seorang muslim adalah saudara sesama muslim lainnya, tidak boleh dikhianati, didustakan dan juga tidak boleh membiarkan dihina orang. Semua hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah haram kehormatannya, hartanya dan darahnya” (HR. Tirmidzi).
Kisah lebih mengutamakan saudaranya sesama mukmin terekam jelas dalam perang Yarmuk, saat akan memberikan air kepada salah seorang mujahid yang terluka, tiba-tiba ia mengisyaratkan untuk diberikan kepada sahabat yang lain, begitu akan diberikan kepada orang tersebut, ia juga mengisyaratkan kepada yang lainnya, begitulah seterusnya, sampai ketika orang yang mau memberikan air tadi kembali kepada orang pertama, ternyata ia telah syahid, begitupula sahabat kedua dan ketiga.
Baca Juga: Aku Teladan, Bagi Anak-Anakku
Begitupula kisah tentang sahabat Anshar yang menolong saudaranya Muhajirin, saat ia tidak mendapatkan makan di rumahnya kecuali untuk anaknya, ia menyuruh istrinya untuk menidurkan anak kesayangannya dan memasakkan makanan anaknya untuk saudara Muhajirin yang lebih membutuhkan. Banyak kisah-kisah emas kasih sayang sesama mukmin melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri terekam dalam lintas sejarah Islam.
Sementara ketegasan terhadap orang kafir tergambar dalam bentuk amar ma’ruf nahyi munkar. Kisah Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Sahlul yang ingin menghukum mati ayahnya karena sering menghina Rasulullah SAW menunjukkan ketegasan rajulun shalih. Meskipun Rasulullah SAW melarangnya, niat dan kesungguhan membela Islam serta ketegasan terhadap orang munafik yang menghina Rasulullah SAW walaupun ayahnya sendiri telah teruji. Ini menjadi bukti kecintaan rajulun shalih kepada Islam dan kaum muslimin.
Antara Kasih Sayang dan Tegas Terhadap Istri
Ada anggapan, seorang aktivis Islam tidak romantis, kaku dan egois. Sulit untuk menerima masukan, baik dari istri dan anak-anaknya. Tidak peduli dengan kesibukan istri di rumah. Benarkah anggapan tersebut? Saat ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya menganai apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ saat di rumah, beliau menjawab bahwa Rasulullah ﷺ mencuci sendiri pakaiannya, memeras susu kambingnya dan melayani dirinya sendiri. Begitu pula Rasulullah ﷺ pernah menjahit baju, menambal sandalnya dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain sebagaimana yang pernah dilakukan laki-laki di rumah.
Kasih sayang Rasulullah ﷺ terhadap istrinya cukuplah kisah di bawah ini sebagai gambaran. Sekelompok orang Habasyah masuk masjid dan bermain di dalamnya. Ketika itu Rasulullah ﷺ. berkata kepadaku,
“Wahai Humayra`, apakah kamu senang melihat mereka?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau berdiri di pintu rumah. Aku menghampirinya. Kuletakkan daguku di atas pundaknya dan kusandarkan wajahku ke pipinya. Di antara ucapan mereka (orang-orang Habasyah) waktu itu, Abu al-Qasim (Rasulullah) orang baik.’ Lalu Rasulullah ﷺ berkata, “Cukup.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, jangan tergesa-gesa.” Beliau pun berdiri lagi untukku. Kemudian beliau berkata lagi, “Cukup.” Aku berkata, “Jangan tergesa-gesa, ya Rasulullah.” Bukan melihat mereka bermain yang aku suka, melainkan aku ingin para perempuan tahu kedudukan Rasulullah bagiku dan kedudukanku dari beliau.”
Baca Juga: Menjadi Keluarga yang Harmonis
Sebagai bentuk kasih sayang, Rasulullah ﷺ juga pernah mengusap air mata istrinya Shafiyah radhiyallahu ‘anha dalam suatu perjalanan. Rasulullah ﷺ juga senantiasa memperhatikan kebutuhan-kebutuhan istrinya baik makanan maupun pakaian. Bahkan Rasulullah ﷺ tidak pernah mencaci, membentak dan memukul wajah istrinya. Jika dia tidak berkenan, Rasulullah ﷺ hanya diam.
Namun Rasulullah ﷺ bersikap tegas saat istrinya mulai menuntut sesuatu yang tidak diinginkannya, condong kepada dunia. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 28-29:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar”
Kepada istri-istrinya, Rasulullah ﷺ mengajukan dua pilihan, tetap hidup bersama beliau dalam kemiskinan dan kesederhanaan, atau hidup tanpa beliau dalam kemewahan dan berlimpah harta. Kepada ‘‘Aisyah beliau berkata, “Bermusyawarahlah dengan kedua orangtuamu, jangan terburu-buru dalam urusan ini!” ‘Aisyah segera menjawab, “Apakah aku harus bermusyawarah tentang Allah dan Rasul-Nya, ya Rasulullah?” Seperti diketahui, semua istri beliau pada akhirnya memilih Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat dalam kesederhanaan, kemiskinan, kesempitan dan kesulitan dunia.
Begitulah sikap rajulun shalih, kasih sayang terhadap istri dan anaknya, penuh perhatian, tegas dan wibawa. Di saat bersamaan, ia juga akan mencintai sesama mukmin, lemah lembut terhadap mereka dan keras terhadap orang kafir. (Mulyanto)