Karena Hidayah Itu Mahal
Andalus.or.id – Jika Anda dipanggil oleh seseorang lebih dari sekali. Kira-kira bagaimana reaksi Anda?. Pastinya, Anda akan memperhatikan. Anda juga merasa, pasti ada sesuatu yang sangat penting hendak disampaikan kepada Anda.
Bayangkan, jika Anda dipanggil hingga sepuluh kali, dengan panggilan lembut, sopan dan kalimat santun. Tentunya, Anda akan sangat perhatian dengan panggilan tersebut. “Bukan perkara remeh, pasti sesuatu yang penting.” Ini mungkin yang ada dalam pikiran Anda.
Dan sadarkah kita, bahwa kita dalam sehari sejatinya telah memanggil dan memohon hidayah kepada Allah ta’ala sebanyak 17 kali. Kita melakukannya dalam keadaan suci, menutup aurat dan penuh kekhusyukan, kita pun berucap:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Berikan hidayah kepada kami menuju shirotol mustaqim.” (QS. Al-Fatihah: 6)
Kenapa harus 17 kali dalam sehari? Tentunya ini bukan perkara yang remeh.
Menurut Imam Ibnu Katsir permintaan hidayah dalam ayat ini bukan berarti umat Islam belum mendapatkan hidayah sama sekali. Namun, makna dari permintaan ini ada dua: meminta keistiqomahan (tsabat) di atas hidayah dan meminta tambahan (ziyadah) hidayah.
Keistiqomahan di Atas Hidayah
Bisa jadi kita telah mendapatkan hidayah, namun tidak ada jaminan bahwa hidayah yang telah didapatkan oleh kita, akan senantiasa bersama dengan kita sampai mati.
Sebab, dalam sejarah, banyak sekali orang-orang yang sudah mendapatkan hidayah tetapi mereka tidak istiqomah dalam menempuh hidayah tersebut.
Contohnya telah ada sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ sampai zaman kita sekarang. Abu Hurairah punya kisah tentang ini. Beliau mengisahkan;
Suatu hari aku duduk di sisi Rasulullah bersama sekelompok orang, di tengah kami hadir Ar-Rajjal bin Anfawah. Nabi bersabda,
“Sesungguhnya di antara kalian ada seseorang yang gigi gerahamnya di neraka lebih besar dari Gunung Uhud.”
Kemudian aku (Abu Hurairah) perhatikan bahwa seluruh yang dulu hadir telah wafat, dan yang tinggal hanya aku dan Ar-Rajjal. Aku sangat takut menjadi orang yang disebutkan oleh Nabi tersebut hingga akhirnya Ar-Rajjal keluar mengikuti Musailimah dan membenarkan kenabiannya.
Sesungguhnya fitnah Ar-Rajjal lebih besar daripada fitnah yang ditimbulkan oleh Musailamah.” Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari gurunya, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. (Lihat Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan-Nihayah, dalam pembahasan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab)
Rajjal merupakan salah satu fenomena orang yang telah mendapatkan hidayah, namun tidak istiqomah di atas hidayah.
Di sinilah kita melihat urgensi doá untuk istiqomah di atas hidayah. Agar jangan sampai ditimpa apa yang pernah menimpa Rajjal bin Unfuwwah.
Jika Rajjal yang pernah semasa dengan Nabi Muhammad ﷺ, bahkan berguru langsung kepada beliau ﷺ tidak ada jaminan untuk bisa istiqamah di atas hidayah. Tentunya, manusia sesudah mereka lebih mengkhawatirkan dan memungkinkan untuk terjadi penyimpangan dari shirotul mustaqim.
Meminta Tambahan Hidayah
Imam Ibnu Katsier menjelaskan bahwa tujuan lain dari doá (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) adalah meminta tambahan hidayah.
Sebab, hidayah yang ada pada manusia bertingkat-tingkat. Antara hidayah yang didapatkan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq dengan hidayah didapatkan oleh Umar, jelas berbeda.
Hidayah yang didapatkan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq mampu menggerakkan jiwanya untuk menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah , pada perang Tabuk. Sementara Umar bin Khattab mampu menginfakkan separuh hartanya.
Tentunya kualitas hidayah yang didapatkan oleh kita jauh dibawah para sahabat Rasulullah ﷺ.
Jika bulan ini ada seorang muslim yang hanya mampu menggerakkan anggota badannya untuk shalat berjamaah di masjid, belum mampu tahajjud.
Maka makna doánya (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) adalah, ‘mudah-mudahan, hidayahnya ditambahkan sehingga ia –di bulan berikutnya- mampu melaksanakan shalat tahajjud.
Mahal dan Rezeki Semata
Siapa yang tidak kenal dengan Abu Thalib?. Beliau adalah paman rasulullah ﷺ yang sangat mencintai beliau. Ia telah mengorbankan apa saja yang ia miliki untuk membela rasulullah ﷺ harta, raga, jiwa dan kedudukannya di masyarakat Arab pada saat itu, beliau gunakan untuk membela rasulullah ﷺ dan dakwahnya dari ancaman serta intimidasi gembong-gembong musyrikin Arab.
Besar harapan Rasulullah ﷺ agar pamannya mendapatkan hidayah. Seribu satu cara beliau tempuh agar pamannya masuk Islam. Namun tetap saja tidak berhasil. Hingga suatu waktu, Rasulullah ﷺ mendapat kabar bahwa pamannya dalam keadaan sakaratul maut.
Beliau pun bergegas menemui pamannya. Sesampainya beliau di rumah pamannya, ternyata telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah (dua tokoh musyrik) di samping Abu Thalib.
”Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallah, kalimat yang aku jadikan saksi utk membela paman di hadapan Allah.” Namun Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah menimpali, ’Hai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengajak pamannya untuk mengucapkan kalimat tauhid, namun dua orang itu selalu mengulang-ulang ucapannya. Hingga Abu Thalib memilih ucapan terakhir, dia mengikuti agama Abdul Muthalib dan enggan untuk mengucapkan laa ilaaha illallah.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad, ”Demi Allah, aku akan memohonkan ampunan untukmu kepada Allah, selama aku tidak dilarang.”
Lalu Allah menurunkan firman-Nya di surat at-Taubah: 113.
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.”
Allah pun menegur Nabi Muhammad ﷺ dengan firman-Nya pada surat al-Qashsas: 56.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” -(HR. Bukhari 1360 dan Muslim 24)
Baik hidayah dari kesesatan menuju kebenaran, tambahan hidayah, atau istiqomah di atas hidayah yang telah diketahui dan didapatkan, bukanlah perkara gampang. Berat. Lebih berat dari memindahkan gunung. Apalagi bagi jiwa yang telah tercelup dengan syahwat yang menggila.
Hak memberi hidayah (taufik) adalah hak Allah semata. Maka sudah sepantasnya kita lebih khusyu’mengucapkan doá (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), bukan sekedar 17 kali dalam sehari. Tetapi lebih dari itu.* (Akrom Syahid)