Senjakala Pengungsi Rohingnya di Aceh, Antara Pro & Kontra
Rohingnya di Aceh, Antara Pro & Kontra
Andalus.or.id – Setiap tahunnya sejak dekade tahun 2000-an, hampir selalu ada manusia perahu Rohingya yang mendarat di Aceh. Tak sedikit juga di antara penumpang perahu tersebut yang kemudian meninggal di perjalanan. Kondisi perahu tak memenuhi syarat, penumpang terlalu padat, minimnya pasokan makanan dan minuman, sanitasi buruk dan kondisi alam tak bersahabat sepanjang perjalanan laut.
Lama perjalanan tidak jelas, fasilitas keselamatan perjalanan tak ada. Kepastian penjemputan dan pendaratan tidak ada. Tiket pun tidak ada. Apalagi asuransi.
Kamp Pengungsian dan Beribu Masalahnya
Sesampainya di daerah pengungsian Cox’s Bazaar, Bangladesh. Duka Rohingnya tak selesai. Malah makin bertambah.
Buruknya kondisi pengungsian, kekerasan antargeng, pelecehan seksual, kondisi alam yang kurang bersahabat, dan terlalu padatnya lokasi penampungan membuat pengungsi tak betah berlama-lama di sana.
Di sinilah oknum penyelundup manusia dan pedagang manusia mengambil kesempatan. Mereka memfasilitasi penyelundupan etnis Rohingnya ke India, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Tidak Punya Perlindungan
Di Thailand mereka bekerja di perkebunan, industri seks, kontruksi dan industri perikanan, serta sebagai pekerja rumah tangga. Di dalam perjalanan pun tak sedikit yang mengalami pelecehan sekssual dan kekerasan fisik.
Kebanyakan orang Rohingnya terlibat penyelundupan manusia karena mereka tidak punya pilihan lain.Mereka adalah korban penyelundupan manusia atau perdagangan manusia. Yang harus dilakukan adalah memerangi perdagangan dan penyelundupan manusia ini sejak dari negara asal, yaitu Myanmar, negara penampungan pertama, yaitu Bangladesh, lalu juga di negara-negara transir seperti India, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Peningkatan Kedatangan Sejak November
Sejak 14 November 2023, lebih dari 1.600 pengungsi Rohingnya tiba di Aceh, termasuk wanita dan anak-anak dengan yang paling kecil berusia satu tahun. Jumlahnya naik dua kali lipat dibanding kedatangan mereka ke provinsi tersebut pada tahun 2022, dan perjalanan mereka beresiko kematian.
Pengamat mengatakan lonjakan kedatangan para pengungsi ini terjadi seiring meningkatnya ketegangan di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Sejak puluhan tahun di negara itu, Rohingnya menjadi sasaran persekusi. Faktor lainnya adalah memburuknya kondisi kehidupan di Bangladesh, tempat hampir 1 juta Rohingnya mengungsi.
Kata Warga Aceh tentang Pengungsi Rohingnya
“Kami kasihan sama mereka, tapi kami tidak bisa terus membantu. Apalagi jika mereka terus berdatangan. Kami hanya bisa membantu semampunya.” (Saiful Fuadi, tokoh adat Aceh)
Tapi tidak semua orang di Aceh berpandangan sama. Badan PBB yang mengurusi pengungsi disambut baik di desa Batee, kabupaten Pidie. Di tempat ini, tenda-tenda didirikan sebagai tempat tinggal 233 pengungsi Rohingya yang terdampar pada tanggal 15 November.
Perlunya Campur Tangan Pemerintah
Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB 1951, tapi telah menerima para pengungsi dari Myanmar dan negara-negara yang dilanda perang lainnya seperti Afghanistan dan Suriah. Para pengungsi diperbolehkan tinggal sampai badan pengungsi PBB UNHCR bisa menemukan negara lain yang mau menerima mereka secara permanen.
Pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan akan menampung para pengungsi untuk sementara waktu dengan alasan kemanusiaan namun tetap akan melindungi kepentingan nasional.
“Kita sangat paham situasi masyarakat. Bagaimana ketidaknyamanan masyarakat seandainya di kebun mereka atau di pekarangan mereka ada masuk pengungsi 200-300 orang yang memerlukan akses segala macam, jadi kita sangat paham itu. Tugas pemerintah adalah mencari cara seberapa cepat kita dapat menemuka lokasi baru.” Kata Achmad Marzuki, Gubernur Aceh pada Wartawan
Pemerintah Indonesia mengatakan masyarakat internasional harus bekerja sama untuk mengatasi akar dari krisis pengungsi ini, yakni kekerasan yang terus terjadi di Myanmar.
Di satu sisi, pengungsi Rohingnya adalah korban kekerasan dan persekusi di Myanmar, sehingga mereka berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan. Di sisi lalin, penolakan dari warga Aceh juga dapat dipahami, mengingat mereka khawatir akan menimbulkan masalah sosial dan keamanan.
Secara hukum internasional, negara asal memiliki tanggung jawab utama melindungi warganya termasuk para pengungsi Rohingnya. Namun dalam kasus ini, justru pemerintahan Myanmar, yang merupakan negara asal mereka yang menjadi sumber masalah. Untuk itulah, tanggung jawab kemanusiaan ini juga mengikat kepada negara-negara tetangga untuk bisa membantu para pengungsi yang sedang mengalami intimidasi.
Hal ini ditegaskan dalam prinsip non-refoulement, yang menyatakan bahwa setiap negara tidak boleh mengembalikan pengungsi ke negara asalnya jika mereka diancam dengan penganiyayaan atau penyiksaan. Dalam kasus pengungsi Rohingya di Aceh, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan sementara kepada mereka. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan dari negara terhadap ancaman dan pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, tanggung jawab Indonesia untuk menangani masalah pengungsi Rohingnya tidak berarti bahwa Indonesia harus menerima mereka secara permanen. Indonesia dapat bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mencari solusi permanen bagi pengungsi Rohingnya. seperti relokasi ke negara ketiga atau repatriasi ke Myanmar jika situasi di Myanmar sudah stabil.
Sumber:
1. Rohingya Korban Penyelundupan dan Perdagangan Manusia (21/12/2023)
ditulis oleh Heru Susetyo (Associate Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia/ Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia/ Pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia/ Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jaya 2018 – 2022) di Kompas
2. Selama puluhan tahun Aceh menyambut baik pengungsi Rohingya. Lantas, mengapa sekarang menolak? (20/12/2023)
ditulis oleh Nivell Rayda dalam Channel News Asia
3. Pengungsi Rohingya,Tanggung Jawab Siapa? (20/12/2023)
ditulis oleh Julianda Boang Manalu S.H.,M.H (Kabag Hukum dan Persidangan, Sekretariat DPRK Subulussalam) di Serambi News