Pesan Buat Para Calon Presiden
Andalus.or.id – Melihat semakin dekatnya pendaftaran capres dan rangkaian pemilu 2024, sepertinya perlu ada pesan. Minimal surat terbuka, maksimal delegasi atau utusan, untuk para capres dan atau tim suksesnya.
Apa isi pesannya? Sederhana saja, kurang lebih sama dengan isi surat Rasulullah ﷺ pada para kaisar, raja dan amir. “Masuklah Islam (terimalah aqidah Islam dan syariatnya) niscaya Allah akan mengokohkan kerajaan (memenangkan perlombaan) kalian..”
Pesan ini berisi iming-iming. Jika para politisi masa lalu (juga masa sekarang) itu menerima Islam, maka kekuasaan (dan kejayaan) mereka akan mendapat pengokohan dari langit.
Selain iming-iming, pesan Rasulullah itu juga diiringi ancaman, atau gambaran konsekuensi buruk jika tawaran agung itu ditolak. “Jika tidak, maka kalian menanggung dosa seluruh rakyat (konstituen pendukung) kalian.
Lha, bukankah pesan Rasulullah itu bahasa langit? Bagaimana mungkin orang seperti Anies, Ganjar dan Prabowo (penyebutan ini urut abjad, bukan sesuai hasil survei lembaga manapun) bisa paham? Bukankah mereka tak terbiasa dengan bahasa langit? Kampanye mereka selalu menggunakan bahasa bumi (kesejahteraan, pembangunan ekonomi dan sebagainya).
Pertanyaan itu logis. Tapi jawabannya juga logis. Kaisar Rum, Kisra Persia, para raja Arab dan Afrika dahulu juga tak kenal bahasa langit. Bisa jadi Prabowo, Ganjar dan Anies yang notabene Muslim justru lebih kenal bahasa langit.
Urutan nama sengaja dibalik dari belakang secara abjadiyah, demi keadilan. Namun esensinya sama, para capres atau bacapres itu semuanya setara dalam level kefasihan bahasa langit. Bahkan mereka lebih unggul dalam sisi itu daripada para politisi jadul yang disurati Rasul karena mereka semua Muslim.
Apa kemungkinan jawaban mereka? Berkaca dari sejarah, Kaisar Rum dan beberapa raja menerima dengan santun tapi tak mau masuk Islam. Raja Mesir juga tak menerima tetapi membalasnya dengan hadiah mahal dan bernilai, termasuk seekor bagal gagah dan seorang budak cantik untuk Rasul.
Kelak negeri-negeri yang santun dan beradab tinggi dalam diplomasi itu menjadi negeri yang menerima dakwah Islam dan menjadi penguat Islam sampai sekarang, Syam dan Mesir.
Kisra Persia lain lagi, dia menolak dengan jumawa, bahkan merobek-robek surat Rasulullah. Sehingga beliau ﷺmendoakan negerinya akan tercabik-cabik seperti surat beliau. Kelak negeri Persia ditaklukkan oleh kaum Muslimin setelah terpecah-belah. Sampai sekarang kawasan itu juga tercabik konflik dan menjadi sarang Syiah yang menyempal dari Islam.
Raja Negus atau Najasy dari Habasyah menerima Islam namun secara diam-diam. Ia tak menunjukkan keislamannya di depan rakyatnya yang memeluk Kristen. Kelak ketika beliau wafat, Rasululah ﷺ dan para sahabat menyalatkannya secara ghaib.
Ada juga beberapa amir dan pembesar kabilah yang menerima Islam. Artinya, para politisi masa lalu merespon dakwah Islam dengan tiga sikap; menolak dengan kasar, menolak dengan halus atau menerima. Baik diam-diam atau terang-terangan.
Lalu bagaimana peluang sikap para capres dan tim suksesnya terhadap pesan yang sama dalam bingkai kekinian?
Jika Ganjar, Anies dan Prabowo menerima, bahkan menjadikan penerimaan mereka sebagai materi utama kampanye mereka, Walhamdulillah Wallahu Akbar…
Pertanyaan umat yang biasa muncul menjelang pemilu akan mudah dijawab. “Dari tiga capres, mana yang layak kita pilih ustadz?”
Jawabnya, “Pilih yang menyatakan menerima syariat Islam..”
“Tapi tiga-tiganya Muslim dan menerima syariat Islam?”
“Pilih yang berani berjanji akan menerapkannya jika menang”
Tipikal Indonesia, jika satu capres berjanji sesuatu, maka yang lain juga akan menjanjikan hal yang sama. “Jika seperti itu, pilih yang mana ustadz?”
Jawabnya, “Pilih yang paling jujur danemegang janjinya”
Soal jujur-jujuran, mungkin Ganjar bisa menang. Prabowo punya catatan kurang setia pada janji kampanyenya soal “timbul tenggelam bersama rakyat.” Sampai-sampai ia digelari Pak Timbul.
Lha kok Ganjar? Lha iya, nonton bokep yang aib saja ia bisa mengakui dengan jujur. Apalagi soal syariat Islam yang agung dan membanggakan. Kalau dia berani soal itu, kemungkinan jujurnya lebih besar ta?
Bagaimana seandainya ketiganya menolak pesan? Baik secara mentah-mentah seperti Kisra, atau matang-matang seperti Raja Mesir?
Nggak masalah. Da’i itu seharusnya seperti Rasulullah. Tidak takut ditolak. Masa kalah sama pejuang cinta para jomblo kekinian? Yang tetap berani nembak meskipun ditolak.
Minimal kewajiban dakwah sudah gugur. Da’i punya hujjah di hadapan Allah kelak, “Ya Allah, dakwah-Mu sudah aku sampaikan pada para capres. Namun mereka menolak...” Cukup..
Bahkan meski ditolak, dakwah pada para politisi kiwari akan berbuah manis. Yaitu viralnya pesan bahwa politisi Muslim dan negeri Muslim itu punya kewajiban menjalankan syariat Islam. Bukan cuma mendaku dan membajak simbol Islam untuk kepentingan politik. Tap pesani ini harus terbuka dan wajib viral…
Kenapa harus viral? Pesan ini wajib diketahui kaum Muslimin Indonesia, yang kata survei Pew Research 64 persen mendukung pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum negara.
Jika umat tahu, standar sikap politik mereka akan melejit tinggi. Dari memilih siapapun yang kelihatan Islami dengan pencitraan, jadi memilih siapapun yang berani menerima dan melaksanakan syariat Islam. Sebagaimana pesan Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah. “Politik yang syar’i adalah menegakkan agama Islam dan mengatur negara (siyasatud dunya) dengannya”
Bagaimana menurut Anda sekalian? Monggo didiskusikan..