Jangan Jadikan Anak Yatim Sebelum Yatim
Menjadi Yatim karena acuh nya orangtua dalam mendidik mereka

Andalus.or.id – Di antara tanggung jawab orang tua adalah memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Bekal pendidikan lebih berharga dari selainnya. Ilmu tidak akan habis. Ilmu pula yang akan menjadi amal jariyah bagi pemiliknya maupun orang-orang yang membimbingnya. Sementara bekal harta hanya seumur pemiliknya saat masih hidup. Apalagi jika pemiliknya tidak memiliki iman, harta hanya akan mengantarkannya menuju jurang neraka. Tak memberi manfaat kecuali apa yang dinikmati di dunia.
Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati orang tuanya. Tentu mereka akan sedih, apalagi berpisah dengan orang yang dikasihi. Orang yang melihat pun iba, bahkan tak sedikit yang menolong untuk menghibur dan membantu. Allah pun dalam banyak ayat memerintahkan untuk menolong anak-anak yatim. Tapi bagaimanakah jika seorang anak tidak dihiraukan pendidikannya oleh kedua orang tuanya? Bahkan ditelantarkan atau salah dalam memberikan bekal pendidikan. Inilah menurut saya anak yatim sebelum yatim.
Baca Juga: Kasih Sayang Rojulun Sholih
Anak yang yatim sebelum yatim ditinggalkan kedua orang tua karena keduanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak jarang mereka harus menyerahkan pendidikan anak kepada pembantu-pembantu, atau sekolah-sekolah yang tidak menumbuhsuburkan keimanan anak. Tak jarang, anak seperti ini sangat rentan menimbulkan kenakalan remaja jika besar. Merasa terasing di tengah-tengah kesibukan kedua orang tua. Hatinya kosong dari ruh keimanan. Jiwanya gersang. Sentuhan dan ruh Islam tidak sampai menggerakkan hatinya.
Benar ungkapan syair;
Bukanlah anak yatim itu anak yang kedua orang tuanya telah selesai menanggung derita hidup (mati) dan meninggalkannya sebagai anak yang hina.
Tetapi anak yatim itu adalah anak yang mendapatkan seorang ibu yang menelantarkannya atau seorang bapak yang sibuk (tidak menghiraukannya)
Ibu Madrasah Anaknya
Sebuah syair mengungkapkan:
Ibu adalah sekolah yang jika engkau telah mempersiapkannya
Berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa yang mempunyai akar-akar yang baik.
Pengertian madrasah berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat belajar. Dalam masyarakat Indonesia, madrasah lebih identik dengan belajar dan mengajarkan, terutama ilmu-ilmu diniyah. Proses belajar mengajar, tidak sekedar transfer ilmu, lebih dari itu, transfer teladan, karakter, ruh dan manhaj kedalam anak-anak didik. Madrasah ini pula mencetak kader-kader ulama yang berilmu dan beradab.
Pengertian ibu sebagai madrasah bagi anaknya karena ibu memiliki peran yang besar dalam memikul dan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya. Kadang bahkan lebih besar karena ibu senantiasa mendampingi anak sejak dilahirkan hingga tumbuh dewasa. Interaksi yang tiada terputus menyatukan hati antara ibu dan anak. Tak heran, seorang ibu rela mengorbankan apa saja demi kecintaan anaknya, begitu pula sebaliknya.
Tak heran, ketika Rasulullah di tanya tentang siapa orang yang paling berhak untuk mendapatkan kebaikan, Rasulullah menjawab ibunya. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah ﷺ;
Dari Abu Hurairah berkata, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ, dia bertanya, “Ya Rasulullah, kepada siapa aku harus berbakti?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Kemudian siapa?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Kemudian bapakmu.”
Baca Juga: Menghadirkan Majelis Ilmu dalam Rumah
Mengapa ibu menjadi prioritas utama dan bahkan sampai tiga kali. Sebagian ulama berkata, karena ibu memiliki tiga perkara yang sangat mahal yang tidak dimiliki oleh bapak: mengandung, melahirkan dan menyusui.
Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda, “Ibu adalah seorang pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya”. Dr. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa hadits tersebut dimaksudkan untuk menciptakan rasa tolong menolong bersama seorang bapak dalam menyiapkan generasi dan mendidik anak-anak. Karena itu, jika seorang ibu meremehkan kewajiban dalam mendidik anak dan lebih mementingkan kariernya. Bagitu pula jika seorang bapak meremehkan tanggung jawab mengarahkan dan mendidik anak, anak tersebut tidak ada bedanya dengan anak yatim.
Mendidik dengan baik
Kewajiban mendidik anak menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang laki-laki itu adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap keluarganya itu. Dan seorang wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga, pendidikan menjadi kebutuhan dasar yang harus diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Dalam banyak hadits, Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk senantiasa mendidik anak-anak kita dengan adab yang baik, mengajarkan kebaikan, mencintai nabi dan keluarganya, memerintahkan untuk menjauhi yang dilarang dan berbagai perintah lainnya yang menunjukkan betapa Islam memandang serius masalah pendidikan anak-anak.
Baca Juga: Melatih Kejujuran Kepada Anak
Maraknya kenakalan remaja hari ini, salah satu faktornya adalah gagalnya dunia pendidikan melahirkan pendidikan yang beradab. Termasuk yang sangat vital adalah peran orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada lembaga-lembaga pendidikan, sementara mereka merasa lepas dan sudah memberikan bekal pendidikan anak yang cukup.
Alangkah indah, jika pendidikan hari ini, baik peran keluarga terutama orang tua, sekolah maupun masyarakat dan lingkungan mampu melahirkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Anak-anak yang manhajnya lurus, jiwanya bersih, hatinya jernih dan ruhnya bersinar dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. (Mulyanto)