Jasa Islam Melawan Kolonialisme Belanda

Andalus.or.id – Kolonialisme, sejak Portugis sampai Belanda telah melahirkan stigma buruk kaum pendatang di Indonesia. Sebelum era kolonialisme, bangsa asing sudah biasa datang ke negeri ini. Seperti dari India, Arab, Cina, dan bahkan dari daratan Eropa sendiri.

Bahkan, sebagian mereka memengaruhi berdirinya kekuasaan-kekuasaan baru. Namun, sifatnya tidak eksklusif dan tidak berwatak kolonialis, melainkan berbaur dengan penduduk setempat.

Kedatangan mereka relatif tidak menimbulkan ketegangan massal di seluruh wilayah Indonesia. Itulah mengapa zaman Hindu-Budha dan Islam tidak merekam peperangan yang sifatnya massal menentang pendatang Asing.

Bencana Kolonialisme

Berbeda dengan saat Portugis dan Belanda datang ke Indonesia. Dengan watak mereka yang serakah, eksklusif, dan cenderung memusuhi penduduk setempat. Sehingga membuat hampir di seluruh wilayah Indonesia terjadi perlawanan fisik.

Bahkan, tidak segan-segan Portugis dan Belanda berkolusi dengan penguasa setempat untuk memeras rakyat. Akibat kedatangan mereka, terjadi “Pemiskinan” massal sebagian besar penduduk Indonesia. Selain itu, kedatangan mereka yang tidak simpatik ditunggangi oleh misionaris yang jelas mengganggu keyakinan mayoritas penduduk nusantara yang sudah menganut Islam.

Akumulasi kekecewaan terhadap para kolonialis ini menyebabkan rakyat yang digerakkan oleh para pemimpin mereka bangkit melakukan perlawanan hampir di seluruh wilayah nusantara. Tidak jarang mereka harus berhadapan dengan teman atau saudaranya sendiri yang sengaja diperalat untuk kepentingan kolonial. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila di permukaan yang terlihat adalah semacam “Perang Saudara”.

Salah satu yang menarik dan harus sangat diperhatikan adalah karakter perlawanan yang terjadi terhadap kolonialisme. Karakter perlawanan tersebut antara lain : Pertama, perlawanan pada umumnya digerakkan oleh para ulama atau melibatkan ulama. Mereka berjuang dibawah komando para ulama. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme digelorakan sebagai “Perang Sabil” atau “Perang di Jalan Allah (Jihad Fi Sabilillah) melawan kaum kafir portugis maupun belanda.

Pelibatan ulama dalam banyak perang melawan kolonial menandakan bahwa di dalam perang itu ada dukungan rakyat. Ulama adalah pemimpin riil masyarakat. Masyarakat hanya bisa digerakkan kalau pimpinannya, dalam hal ini ulama, menginstruksikannya.

Tanpa melibatkan ulama, perlawanan tidak bisa melibatkan masyarakat secara langsung. Tanpa ulama, para penguasa hanya bisa menggerakkan tentara resminya. Kekuatan rakyat tidak bisa dikerahkan.

Penyebutan perang sebagai “Jihad” menandakan bahwa perang ini didorong oleh motivasi keislaman yang tinggi. Tindakan yang mereka lakukan dilakukan atas dasar kesadaran keharusan berjuang di jalan Allah ta’ala. Mati di tempat jihad adalah kematian suci yang akan mengantarkan ke surga tanpa hisab.

Tujuannya bukan sekadar membela kepentingan pribadi. Melainkan kepentingan yang lebih besar dan suci. Yaitu terpeliharanya agama Allah ta’ala dan kemaslahatan umat.

Di Bali dan Sumatra Utara memang ditemukan bukti bahwa ada perlawanan yang dilakukan bukan oleh umat Islam. Tentu yang mereka gelorakan bukan “Jihad” seperti yang hidup di kalangan umat Islam. Namun, perlawanan-perlawanan itu paling tidak didukung oleh kalangan Islam seperti yang terjadi dalam perlawanan Sisingamangaraja XII di Sumatra utara. (Tiar Anwar Bahtiar, Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru, Hal : 63)

Hal ini dapat dimaklumi karena kekuatan-kekuatan besar yang ada di Indonesia tersimpan di dalam tubuh umat Islam dan di kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar mulai dari Aceh sampai Papua. Tanpa dukungan dari kekuatan besar ini, mereka tidak mendapatkan sekutu menghadapi kekuatan besar kaum kolonial.

Di Bali yang mayoritas Hindu, perlawanan terhadap Belanda belum ditemukan bukti ada keterlibatan kelompok Islam di dalamnya. Munculnya perlawanan dari raja-raja Bali disebabkan oleh rasa ketidakadilan yang mereka terima dari pemerintah kolonial.

Padahal raja-raja Bali termasuk yang sudah bekerja sama dengan VOC dan Hindia Belanda sejak lama. Banyak rakyat Bali yang sengaja dikirim menjadi tentara resmi VOC dan Hindia Belanda. Alhasil, perlawanan ini lebih banyak menunjukkan konflik antara penguasa yang bersekutu.

Berdasarkan fakta-fakta itu, secara umum dapat disimpulkan bahwa gerakan anti penjajahan dan kolonialisme merupakan gerakan yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan Islam.

Saham Umat Islam

Umat Islam menyimpan saham besar di dalam perjuangan melawan penjajahan di negeri ini. Mengabaikan faktor Islam di dalam perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia adalah suatu bertentangan dengan fakta-fakta sejarah yang ada.

Apalagi perlawanan yang bergelora sepanjang abad ke-19 di Jawa setelah perang Jawa (1825 – 1830). Penggeraknya adalah kalangan ulama dari pesantren, bukan lagi para penguasa. Semakin terang bagaimana kontribusi ulama dan umat Islam terhadap gerakan anti penjajah di Indonesia.

Fakta sejarah juga telah membuktikan peran raja-raja Islam di negeri ini dalam melawan penjajahan. Banyak para penguasa yang melakukan perlawanan terhadap para penjajah. Seperti yang dilakukan Raden Fattah mengutus Adipati Yunus melawan Portugis di Malaka. Sultan Agung dari Mataram Islam melawan VOC di Batavia. Sultan Hasanuddin dari Makasar melawan Belanda dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten melawan Belanda juga.

Sejarah memang akan berulang. Hakekatnya tetap sama tetapi yang berbeda adalah pelakunya. Pertarungan antara al haq dan al batil juga terus terjadi.

Pertanyaan dimanakah posisi kita. Apakah kita menjadi pemain yang terlibat dalam perjuangan membela al haq atau cuma sebagai penonton saja. Yang jelas kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta’ala. (Anwar)

Tentang Penulis

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button